Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Stop! Kekerasan Verbal Pada Anak



"Bunda..... Temenku bilang aku item dan jelek...!" Adu Hasna sambil terisak menahan tangis. Kelihatannya dia kesal sekali temannya berkali-kali bilang 'kamu jelek, item. Aku cantik, putih' maka ia pulang dengan menuntun sepedanya, lalu melemparkan sepeda itu di depan pintu untuk kemudian menangis sesenggukan di baliknya.
"Tak apa-apa, Kakak. Kalau ada teman bilang begitu, biarin. Tinggal pulang aja. Bunda punya 2 anak perempuan, cantik semua.." Saya berusaha membujuk dan membesarkan hatinya.
Sungguh, saya tak masalah ketika ada orang mengatakan kepada saya 'Hasna ko sekarang item', terlebih jika dia tahu bagaimana Hasna kecil dengan kulit putih bersih dan wajah oriental. Wong saya sering dikira hanya tukang momong, bukan bundanya. Tapi jika dikatakan di depan Hasna langsung, saya ikut sakit hati.

Ada juga yang sering berkomentar "Salsa ko putih, Hasna hitam. Yang putih siapa Mba?" meski saya ingin sakit hati, tapi sekarang saya sudah tidak peduli. Saya jawab dengan wajah lempeng, "Ayahnya putih."
"Hasna... Kamu ko sekarang jadi item banget," begitu kata mantan tetangga saat kami main ke tempatnya. Mendengar itu Hasna hanya melengos, diam lalu beringsut mencari teman mainnya.
Pikiran saya melayang ke masa kecil yang agak suram. Masa di mana saya sering mendapat perundungan terutama karena kulit saya yang legam dan bibir tebal.
Sakit, ketika banyak orang serta merta komentar ini-itu tentang hal tersebut. Ah, siapa yang mau memilih terlahir dengan fisik seperti ini? Jika boleh memilih, tentu ingin terlahir dengan fisik yang sempurna bak bidadari (eh, padahal sih belum pernah tahu seperti apa rupa bidadari, hehe). seolah terlahir dengan fisik seperti ini adalah aib dan kesalahan, padahal manusia adalah sebaik-baik ciptaanNya.
Perundungan-perundungan dan stigma mulai dari sebutan 'black girl', 'Cah Njaprutan' dll membuat saya tumbuh menjadi anak yang kurang percaya diri, bahkan ketika sebenarnya saya bisa melakukan sesuatu, saya memilih untuk 'bersembunyi' dan tidak show up karena rasa minder yang lebih menguasai.
"Nggak apa-apa kulitnya hitam, yang penting hati kita putih. Nggak apa-apa juga kita hidup miskin, asal hati kita kaya," begitu ucap bapak dan mamak untuk membesarkan hati kami, karena selain urusan body shaming kami juga kerap mendapat perlakuan tak menyenangkan karena masalah ekonomi.
Bertahun-tahun saya mengalami hal tak mengenakkan tersebut, dan akhirnya baru di bangku kuliah saya mulai menemukan kepercayaan diri.
Well, mengingat hal itu, terbersit kekhawatiran jika Hasna mengalami hal serupa dengan saya. Memang, seringkali dia enggan untuk berkumpul dengan teman-teman seusianya.
Seperti kemarin saat kami mengikuti gathering. Ada fun games anak-anak yang terpisah dengan orang dewasa. Saya bujuk Hasna untuk ikut, sementara Ayah ikut grup bapak-bapak, dan saya berkumpul dengan sesama bunda yang menjaga balitanya, sambil menonton bunda lain yang main game. Hasna mau bergabung setelah saya bujuk berkali-kali dan semua temannya bergabung.
Setelah selesai acara, saya cukup takjub karena akhirnya dia berani maju dan membaca beberapa ayat Alquran surat An-Naba' yang dihafalkannya di sekolah. Sungguh saya terharu meskipun beberapa kali dia salah mengucapkan lafaznya, tapi dia sudah berani tampil di depan banyak orang.
Apa hubungannya perundungan dengan kekerasan terhadap anak?
Yup! Perundungan verbal ini juga termasuk kekerasan pada anak, baik diucapkan oleh orangtua maupun oleh orang lain. Lebih parah jika yang mengucapkannya adalah orangtuanya sendiri terutama ibu, karena doanya lebih sering dikabulkan Allah.
Seringkali seorang ibu melakukan kekerasan verbal baik dengan kata kasar, maupun dengan nada tinggi. Tentang suara nada tinggi/bentakan, penelitian menyebutkan itu akan berpengaruh terhadap putusnya synaps otak.
Di sinilah kesabaran seorang ibu diuji. Kesabaran untuk mengucapkan yang baik saat marah kepada anak, dan kesabaran untuk tidak tersulut emosi dengan anak-anak, karena cara pandang mereka berbeda dengan orang dewasa.
Sampai saat ini, setelah diamanahi 2 anak, saya masih sering keceplosan dan mudah marah dengan tingkah si Kakak. Malu rasanya, terlebih saat di tempat umum dan dia lost control. Hal ini bukan terjadi karena kami tidak pernah mengajarkan sopan santun dan sikap saat di tempat umum, mungkin si Kakak memang belum selesai dengan urusan emosinya. Semoga kami bisa bersabar menghadapi ini.
Seorang ibu,  terutama dalam keadaan kelelahan,  mudah sekali memuncak amarahnya.  Seandainya setiap ibu seperti ibunda Imam Sudais yang saat marah pun yang keluar dari mulutnya adalah ucapan dan doa yang baik. Sayangnya terkadang yang keluar adalah umpatan dan makian untuk anak sendiri.
"Anak nakal!"
"Anak bandel!"
"Bawel!"
Dan berbagai kata-kata negatif yang bisa membahayakan mental anak.
Saya bahkan pernah mendengar seorang ibu mengumpat anaknya, "Dasar anak setan!" saya sedih mendengarnya.  Jika si anak itu anak setan, yang setan sebenarnya siapa?


Dampak Kekerasan Verbal sangat membahayakan anak, diantaranya karena:
1. Kekerasan verbal lebih berbahaya dibanding kekerasan fisik.
Menurut penelitian,  rasa sakit di hati juga berprngaruh terhadap kesehatan otak.
2. Berpengaruh terhadap mental korban sehingga korban bisa melakukan hal yang sama (dan bisa terus berputar seperti lingkaran setan) atau mengalami trauma mendalam
3. Anak kehilangan kepercayaan diri dan membahayakan masa depannya
4. Efek sakitnya bisa lamakarena bekasnya ada di hati korban hingga bertahun-tahun.
Masih banyak dampak dari kekerasan verbal terhadap anak yang mungkin kita temui di sekitar kita. Satu hal yang paling penting, hal ini bisa menjadikan anak mengalami penyakit yang lebih berbahaya dibanding penyakit fisik.
Na'udzubillah min dzalik, semoga anak-anak kita terhindari dari kekerasan baik verbal maupun non verbal sehingga mereka tumbuh optimal dan masa depannya lebih cerah.
Beberapa hal yang bisa dilakukan untuk meredam emosi dan menjaga dari melakukan kekerasan verbal:
1. Memahami tentang bahaya lidah sehingga bisa menjaga lisan dari mengucapkan yang buruk tertama terhadap anak
2. Menekankan pada diri sendiri bahwa anak adalah amanah dari Allah yang wajib dijaga
3. Selalu mengingat masa depan anak sangat tergantung dari hari ini
4. Mencoba berdamai dengan keadaan dan diri sendiri
5. Istirahat saat lelah. Saya bahkan bisa pura-pura tidak melihat rumah berantakan supaya saya bisa tetap 'waras' dan tidak meledak-ledak
6. Membuat skala prioritas untuk kegiatan dan aktivitas baik di rumah maupun di luar
7. Bekerjasama dengan pasangan/keluarga untuk urusan domestik dan anak-anak
Semoga pengalaman yang sedikit ini bisa bermanfaat untuk Ayah-Bunda semuanya.
Salam,


#roadto4thgandjelrel #blogchallengegandjelrel

1 komentar untuk "Stop! Kekerasan Verbal Pada Anak"

  1. Aku dulu kecil juga suka dikatain gendut dan itu mbekas banget di hati. Sayangnya Nadia juga mengalami hal yg sama makanya aku rajin membesarkan hatinya, orang kadang ga nyadar kata2 gitu bisa beaar dampaknya ya :(

    BalasHapus