Anak yang Dulu Ranking Satu, Sekarang Mana?!

Daftar Isi


Assalamu'alaikum, Ay/Bun.

Monmaap numpang curcol, ye. Sejujurnya, ketika mendengar pertanyaan (mungkin bernada bercanda atau mengejek) "Anak yang dulu ranking 1 sekarang ke mana?" "Yang dulu ranking 1 sekarang jadi apa?" "Yang dulu ranking 1 sekarang gajinya berapa?" Dari hati terdalam saya merasa tergelitik dan tersindir. Hai! Kenalkan, saya Arina, anak yang dulu langganan ranking 1 dan sekarang jadi ibu rumah tangga, punya anak 3, nggak punya gaji tetap tapi tetap minta "gaji" ke Pak Suami tiap butuh duit.

Ada masa di mana ketika mendengar jokes tersebut, saya nangis diam-diam, merasa nggak berguna lalu seolah membenarkan pernyataan tersebut, iya nggak penting banget dulu dapat ranking 1.

Padahal jika ditarik ke belakang, tak ada hal yang sia-sia. Dulu, ada privilege yang kudapatkan ketika berhasil mencapai ranking 1. Di antaranya, sering dapat kesempatan ikut lomba mewakili sekolah, dikenal oleh guru-guru, gratis SPP berbulan-bulan, dapat beasiswa saat sekolah dan kuliah, bisa masuk perguruan tinggi negeri bonafid, dan yang tak kalah penting, orang tua saya bangga.

Stop! Bercanda tapi Menghina

Zaman sekarang di mana medsos sedemikian masif, orang berusaha mendapatkan validasi dari sekelilingnya. Mungkin termasuk dengan konten seputar "mantan ranking 1 yang sekarang nggak jadi apa-apa tersebut" yang dibandingkan dengan dirinya yang saat ini "sukses" bergelimang harta.

Hm... Apakah kesuksesan hanya didasarkan pada kepemilikan harta? Tidak bukan? Itu hanya salah satu kriteria yang dipahami orang kebanyakan. Padahal sisi "sukses" setiap orang pasti berbeda, karena titik mulainya pun tak sama.

Jadi, tak perlu lagi membandingkan nasib yang dulu ranking 1 dengan ranking terakhir Vs keadaan sekarang. Jalan hidup setiap orang berbeda, nasib sudah ditentukan oleh Tuhan, rezeki sudah tertakar tak akan tertukar. So, stop bercanda untuk menghina. 

Pendidikan itu Sangat Penting

Lalu apakah yang senang melontarkan jokes itu adalah orang-orang yang menganggap pendidikan itu tidak penting? Entahlah. Semoga tidak ada lagi campaign "Nggak perlu sekolah tinggi-tinggi, si X aja bisa jadi pejabat." "Ngapain sekolah tinggi-tinggi? Yang nggak sekolah malah lebih kaya, penghasilan lebih besar." "Nggak perlu sekolah tinggi, yang sekolah bertahun-tahun malah jadi karyawan saya sedangkan saya hanya lulusan SMP."

Nahnah! Inilah yang sering terjadi di sekitar kita, ketika pendidikan dianggap sekadar untuk bisa mendapatkan penghasilan besar nantinya. Padahal pendidikan lah yang akan membawa perubahan pada generasi mendatang.

Bisa jadi ada sebagian orang yang Allah uji dengan belum membaiknya kondisi ekonomi meskipun sudah sekolah tinggi. Namun yakinlah, value-nya jauh lebih tinggi dibanding orang yang tidak mengenyam pendidikan.

"Dia loh, dulu kuliah sekarang nganggur aja, nggak kerja." Kalimat ini mengalir begitu saja dari mulut seorang teman saat kami menyiapkan acara reuni.

"Kek aku dong, sekarang jadi ibu rumah tangga, di rumah aja," jawabku sembari nyengir kuda.

Dengan mimik wajah yang sedikit berubah, dia pun menjawab, "Arina mah di rumah tapi tetap banyak aktivitas di luar juga."

Hm.. sayangnya begitulah yang terjadi di masyarakat. Saya 4 bersaudara, 3 perempuan dan 1 laki-laki. Kami 3 bersaudara perempuan ini, sama-sama menjadi ibu rumah tangga. Apakah 100% ijazah sarjana kami tidak berguna? Nope! Ijazah memang tak terpakai saat ini, tapi banyak ilmu yang kami dapatkan semasa kuliah yang jadi bekal kami mengarungi hidup. Life is never flat, right? Means kita harus punya skill untuk bisa survive, dan skill itu bisa didapatkan dari pendidikan. Of course, tak hanya pendidikan formal.

Ketika si-Ranking 1 Punya Anak Ranking Terakhir

"Ya Allah... Yah... Rasane atiku 'mak gregel' pas tahu nilai anak kita nilainya paling 'bontot' di kelas," curhatku pasa Pak suami sepulang dari ambil raport sekolah.

"Memang anaknya kan belum lancar baca, Bun. Selow aja, dinikmati prosesnya," jawab si Ayah kalem.

"Iya sih, tapi rasanya tuh pengen nangis loh, aku dulu hampir selalu ranking 1, paling mentok dapat 3 besar, eh, anakku ranking bontot... Hiks..."

Sebenarnya bukan rasa kecewa kepada anak yang muncul, tapi malu sama diri sendiri karena belum berhasil mendidik anak.

"Sabar ya Bunda. Tidak boleh berkecil hati atau minder, setiap anak punya fase masing-masing. Mereka akan berkembang di titiknya masing-masing. Ada yang baru berkembang ketika sudah SD kelas atas, sudah SMP, sudah SMA, dsb. Harus terus semangat dan mendukung anak-anak," nasihat Bunda di sekolah kembali terngiang.

Saat itu sebenarnya saya sudah menyiapkan hati untuk melihat apa adanya hasil yang diperoleh Kakak S. Saya paham anak saya memang belum sepenuhnya bisa mengikuti pelajaran karena belum lancar membaca. Semangatnya untuk belajar pun masih kurang. Ia lebih sering menolak ketika diajak belajar atau mengerjakan PR. Tak jarang PR-nya diabaikan hingga gurunya memberi catatan anak ini tidak mengerjakan PR. Fyuuuh.

"Begini yah, rasanya anak yang dulu langganan ranking 1, mendapati kenyataan punya anak ranking terakhir di kelas," gumamku lagi.

Sebenarnya tidak ada ranking sih, lebih tepatnya tidak tertulis di buku raport, hanya saja guru memberikan laporan jumlah nilai sebagai evaluasi untuk orang tua. Nilai tersebut hanya berupa selembar kertas yang dilihat bergantian oleh orang tua saat mengambil raport anaknya.

Saya terus mencoba membesarkan hati dan menghibur diri-sendiri, bahwa anak saya bukanlah copy paste 100% saya kecil. Jika ternyata akademiknya kurang cemerlang, pasti ada kelebihan di bidang lain. InsyaAllah. Jangan pernah berhenti berharap, berdoa dan ikhtiar. 

Sekian curcol kali ini, terima kasih telah membaca. 

Semoga bermanfaat,

Salam, 

Posting Komentar

Link Banner Link Banner Link Banner Link Banner Link Banner Intellifluence Logo Link Banner