Merindukan Suasana Ramadhan Masa Kecil
Masjid Al-Huda Desa Wonokromo |
Seringkali dengan sadar saya membandingkan masa kecil saya dengan
anak-anak, khususnya hal-hal yang berkaitan dengan alam dan permainan anak.
Ayah-Bunda yang masa kecilnya di tahun 80-90an bisa jadi merasakan hal yang sama. Betapa masa kecil kita dulu sangat menyenangkan. Masa-masa yang akan selalu dikenang. Setiap hari bermain permainan tradisional bersama teman-teman, kreatif dengan 'modal' dari alam, dan jauh dari barang-barang serba digital. Terlepas dari masa susah waktu itu, kita kenang yang senang-senang saja.
Masa yang tak kalah menyenangkan adalah saat Ramadhan dan idul fitri, di mana aktivitas selama sebulan berbeda dengan 11 bulan lainnya. Juga kemeriahan lebaran yang tak tergantikan, termasuk momen beli baju baru, karena bagi kami saat itu tak ada baju baru selain saat lebaran.
Inilah suasana Ramadan saat masa kecil di kampung halaman yang masih selalu saya kenang.
1. 'Alarm' Sahur dari Speaker Masjid
Jika waktu subuh rata-rata pukul 5 pagi, maka pukul 3.30 'alarm' yang membangunkan orang untuk sahur sudah berbunyi.
Bukan alarm beneran ya, aslinya ada bapak-bapak yang bertugas untuk menyalakan murotal. Biasanya beliau juga mengatakan "Bapak/Ibu mari bangun, sudah waktunya sahur!" dalam Bahasa Jawa.
Jarak dibangunkan sampai imsak cukup lama, karena waktu itu masih jarang warga yang menggunakan kompor minyak tanah. Jangan tanya tentang kompor gas, hanya segelintir orang kaya yang punya. Rata-rata warga menggunakan tungku kayu bakar.
Tak lupa, 'alarm' juga menghitung mundur waktu sahur. "Waktu sahur tinggal 30 menit lagi", juga dalam Bahasa Jawa. Begitu seterusnya tiap 10 menit sampai masuk waktu imsak. Jika waktu sahur telah habis, sirine pun dibunyikan. Sirine habis, akan berganti murotal sampai masuk waktu subuh.
Dulu, saya tidak suka dengan 'alarm' tersebut. Di Wonosobo yang super dingin, harus bangun awal untuk sahur itu perjuangan. Saya inginnya bangun setelah mamak selesai menyiapkan makanan, jadi saya tinggal makan, tak perlu menunggu lama. Gara-gara 'alarm' itulah sering terbangun saat mamak belum selesai bersiap. Maklum, rumah sangat dekat dengan masjid.
Oh ya, waktu kecil dulu belum ada anak-anak yang keliling membangunkan sahur dengan kentongan. Jadi selalu mengandalkan speaker masjid yang disusul oleh speaker muhola-mushola.
2. Main ke Kolam Air Panas Ba'da Subuh
Setelah subuh, saat langit masih gelap, kami senang berjalan kaki menuju kolam air panas di ujung desa dengan mengenakan mukena lengkap. Tak ada lampu penerangan, tapi kami selalu merasa aman melewati jalan itu. Kurang lebih 500 meter jalan yang harus kami lalui. Jalan utama desa itu berada di pinggir sawah, sehingga suara kodok pun masih terdengar bersahutan.
Di kolam air panas, kami berebut tempat duduk yang paling nyaman untuk menjulurkan kaki ke kolam. Hawa panas dari kolam perlahan menjalar, tubuh yang dingin pun jadi terasa hangat. Biasanya setelah terang, sekitar pukul 6.30 kami akan kembali ke rumah masing-masing dan tak lupa membuat janji untuk bertemu siang nanti.
Di sawah sebelah jalan ini dulu kami sering bermain |
3. Main ke Sawah menjelang Asar
Sekitar pukul 3 sore, kami kembali 'menjelajah' biasanya tujuannya adalah sawah atau sungai. Kami menamakan aktivitas ini dengan 'luru sore' atau 'mencari sore', karena jika beraktivitas, tahu-tahu sore sudah datang. Puasa pun jadi tak terasa berat.
Ada kisah sedih saat main ke sawah dulu, kami pernah diganggu anak laki-laki dan diancam dengan sabit yang mereka bawa. Pasalnya waktu itu kami akan memetik mangga_pohon buah yang langka di tempat kami_ dari salah satu sawah milik orang tua teman kami. Malangnya, mangga yang akan kami petik itu dirampas anak-anak remaja yang sedang mencari rumput. Geram, tapi kami lebih takut dengan sabit yang mereka bawa. Akhirnya kami pulang dengan muka ditekuk
4. Semaan Alquran Ba'da Ashar
Kegiatan menyenangkan yang hanya ada di bulan Ramadhan di desa kami adalah semaan Alquran. Semaan atau tasmi' Alquran, menyimak bacaan Alquran dari qori’.
Dulu, yang rajin membaca Alquran dan disimak oleh jamaah adalah simbah kakung. Beliau juga selalu menyisipkan cerita dan penjelasan di ayat-ayat tertentu.
Menjelang berbuka, biasanya tasmi' selesai, dilanjutkan dengan berbuka puasa di masjid. Menu untuk berbuka tak selengkap menu buka puasa di masjid-masjid sekarang, 'hanya' teh tawar atau air putih dengan camilan opak/kerupuk. Meski begitu, rasanya tetap nikmat buat kami waktu itu.
5. Tarawih Berjamaah di Masjid
Tarawih kami di masjid berjumlah 23 rakaat dengan salat witir. Kami sering kewalahan mengikuti cepatnya gerakan salat imam. Meskipun bacaan qurannya masih sesuai dengan tajwid, tapi gerakan salat yang cepat membuat saya tidak nyaman. Biasanya, anak-anak sibuk bermain di belakang jamaah salat. Saya tak berani, karena ada mamak yang akan muntab jika saya berisik :D
6. Asmaul Husna Ba'da Tarawih
Kegiatan yang disukai anak-anak setelah tarawih adalah saat membaca syair asmaul husna dan sifat Allah &Rasulullah. Bacanya dengan nada dan diiringi tabuh bedug. Seru!
Jangan lupa juga dengan buku laporan kegiatan Ramadhan yang harus diisi dan ditandatangani oleh imam shalat tarawih. Malu-malu antre mengunpulkan buku dan meringkas kuliah tujuh menit/kultum-nya. Sepertinya anak-anak sekarang tak lagi punya aktivitas seperti ini bukan?
7. Tadarus Alquran
Setelah tarawih, kami bersama-sama membaca Alquran di masjid. Biasanya, dalam semalam bisa khatam 1 kali karena dibagi banyak orang. Ada sebagian yang membaca 1-2 juz, ada pula yang memilih 1 juz untuk berdua, atau 1 juz untuk berempat.
Suara riuh rendah seperti dengungan lebah, menandakan semuanya tengah mengaji. Tak cukup di situ, dari mushala-mushala pun selalu terdengar lantunan ayat Alquran yang disiarkan lewat pengeras suara. Hal yang tidak saya temui saat ini, apalagi di Bali.
MasyaAllah... Aktivitas Ramadhan masa kecil yang sepertinya biasa saja tapi menyimpan kenangan luar biasa.
Menjelang idul Fitri, biasanya mamak cukup sibuk menyiapkan lebaran. Jangan bayangkan juga persiapan lebaran seheboh sekarang. Mamak biasanya hanya membuat opak ketan, rempeyek, jipang, sale pisang, dan keripik pisang. Beliau membuat dalam jumlah banyak karena tiap lebaran selalu banyak tamu.
Posting Komentar
Mohon untuk tidak menyematkan link hidup dan spamming lainnya. Jika tetap ada akan saya hapus.
Salam,