Belajar dari Ghaza dan Bunda Cahya
Daftar Isi
Malam itu aku tergugu. Sahut menyahut kabar muncul di beranda, tentang
seorang anak istimewa, Ghaza.
Ghaza yang istimewa namun tetap memiliki cara cerdas untuk ‘melarikan
diri’ dari rumahnya.
Tak terbayang bagaimana perasaan Bunda mendapati anak shalihnya telah
keluar dari rumah tanpa seorang pun yang mengetahui. Ah, aku tahu perasaan itu,
seperti saat 3 tahun yang lalu Hasna ‘pergi bermain’ tanpa pamit dan akhirnya
kembali diantar seorang bapak yang menemukannya di pinggir jalan.
Sementara Ghaza tak jua pulang, meski Bunda Ghaza telah mencarinya ke
berbagai tempat, juga meminta bantuan ke media sosial.
Tak terbayangkan rasanya seorang ibu saat anak kesayangannya tak tahu
rimbanya, dengan berita yang simpang-siur dan beberapa saksi yang mengaku
bertemu Ghaza tapi hanya sekilas. Oh, betapa remuk redamnya hati seorang ibu
dengan itu semua? Sedang biasanya anak shalih itu meramaikan rumah dengan
tingkah polahnya.
Terlebih saat esok harinya mendapati kenyataan si Shalih Ghaza ditemukan
telah meninggal dunia, tenggelam di sebuah danau. Yaa Rabb... bagaimana mungkin
hatinya tak makin hancur? Tapi masyaAllah, beliau memang seorang perempuan
tangguh, ibu berhati baja yang sedemikian tegarnya menghadapi kejadian yang
menimpa cahaya matanya.
Tak terbayangkan apa jadinya bila aku yang berada salam posisinya. Sedang
saat anak-anak sedeikit berlebih menyalurkan energinya, suara sudah naik sekian
oktaf. Juga emosi yang menggebu dalam hati, berharap anak-anak segera diam dan
tak lagi membuat gaduh atau rumah berantakan.
Yaa Rabb... sungguh diri ini tak ada apa-apanya jika disandingkan dengan
Bunda Ghaza. Beliau yang dengan sabar dan tegarnya menghadapi shalih Ghaza si
Anak istimewa. Malu, rasanya ketika setiap hari mengeluh pada suami, atau
menggerutu dengan banyaknya pekerjaan rumah dan tingkah polah anak-anak.
Padahal segala kerepotan itu belumlah seperti mereka yang dikaruniai
keistimewaan oleh Allah, diberi amanah anak-anak yang berbeda dengan lainnya,
anak-anak yang pasti akan masuk surga.
“Bunda, aku cuma mau bantuin Bunda masak, ko!”
Ali-alih membiarkannya eksplor di dapur, kadang aku justru menyuruhnya
menyingkir. Ah, maafkan Bunda, Nak. Bunda pikir tak setiap saat kamu boleh ikut
pegang ini-itu karena alasan keamanan. Tapi mungkin cara bunda menyuruhmu
menyingkir itulah yang kurang tepat.
“Bunda, aku mau bantuin lipat baju.”
“Nggak usah, Kakak bantu jagain adik aja.”
Oh sungguh, aku justru telah memangkas keingintahuan dan proses
belajarnya.
MasyaALlah, melalui Ghaza shalih dan Bundanya yang berhati cahaya, saya
seolah mendapat tamparan telak. Belumlah anak-anak ini membanjiri lantai setiap
hari, atau membogkar lemari setiap saat. Ya, hanya saat tertentu ketika mereka
butuh perhatian lebih.
Ghaza, sekarang kamu bisa tertawa dan berlari dengan riang, Nak. Tak ada lagi
pintu gerbang terkunci untuk menjagamu. Terima kasih telah menjadi pengingat
buat kami.
Denpasar, 23 November 2019
Saat hati gerimis ketika berhenti di ‘beranda’ Bunda Ghaza
Mohon untuk tidak menyematkan link hidup dan spamming lainnya. Jika tetap ada akan saya hapus.
Salam,