Membangun Ketahanan Keluarga, Apa Pentingnya?
Daftar Isi
Kajian Ummahat Membangun Ketahanan
Keluarga Bersama Ustadzah Dyah Woro Haswini Sabtu, 28 Januari 2017 Masjid
An-Nur Lamper Tengah. Oleh Komunitas Home Schooling Muslim Nusantara (HSMN)
Semarang.
Beberapa hari yang lalu seorang teman bercerita, mencoba sharing dan
mencari solusi dari permasalahan yang dihadapi temannya.
Temannya, seorang istri yang berusia sekitar 30an. Ia tinggal bersama
suami dan anak tirinya yang masih berusia sekolah dasar. Tak jauh dari tempat
tinggalnya, hidup bapak mertua yang sakit-sakitan dan setiap hari anak
menantunya itu bertugas membawakan obat untuknya. Naas, hari itu saat dia
datang tiba-tiba si bapak mertua hendak
melecehkannya. (maaf) beliau memeluk, mau mencium dan sudah melorotkan celana
kolornya. Beruntung dia bisa melarikan diri dan selamat dari nafsu bejat itu. Trauma,
tentu saja, maka ia mengunci pintu rumah dan mengurung diri di dalam kamar
hingga suaminya kembali dari kerja. Alih-alih membelanya, si suami justru
menganggap ceritanya seperti angin lalu dan hanya mengatakan untuk jangan
dekat-dekat dengan bapaknya.
Mendengar cerita itu saya geram dan takut. Teringat kisah-kisah yang
pernah dipaparkan oleh beberapa orang dalam sebuah seminar mengenai
pelecehan-pelecehan yang dilakukan justru oleh keluarga dekatnya.
Baca: Perempuan Sebagai Pelopor Mewujudkan Generasi Berkualitas, FGD Perempuan Membahas Kekerasan Terhadap Anak
kesal juga dengan suaminya yang bersikap seperti itu, pun dengan si bapak
yang tak bisa menahan nafsu. Yeah! We know lah bagaimana laki-laki memang. Percakapan
itu buntu, tak menyisakan solusi selain saran agar suaminya tegas atau segera
mungkin pindah rumah jika memungkinkan.
Maka saya bawa cerita yang masih menggantung itu ke kajian ummahat
bertema Membangun Ketahanan Keluarga
bersama ustadzah Dyah Woro Haswini, berharap mendapatkan pencerahan dan solusi
barangkali. Aih..! saya juga butuh sekali ilmunya, ya Ayah-Bunda.
Berangkat dari rumah setelah si Kecil selesai sarapan. Alhamdulillah ada
Mbah kakungnya di rumah sehingga saya bisa tenang ikut kajian tanpa was-was
dengan toilet training-nya yang belum lulus. Boncengan motor sama suami, tapi
kali ini saya dapat mandat (halah mandat) pegang stang. Apa pasal? Karena saya
masih trauma naik motor dan sedang berjuang (lagi) untuk menghilangkan trauma.
Otomatis saya terlambat sampai masjid An-Nur Lamper, karena saya yang pegang
stang berarti jalannya sangat pelan dan lewat gang-gang kampung supaya tidak
kena razia (wek! Jangan dicontoh) tenang, tetap pakai helm ko! Yang bawa
surat-surat resmi ya suami, saya memang belum punya SIM meskipun dulu sebelum
menikah sudah bisa (dan berani) naik motor.
Nahnah! Malah cerita naik motor lagi. Maafkeun,
ya Ayah-Bunda.
Sampai di lokasi acara sudah mulai tuh, disambut sama Bunda cantik yang
menjaga presensi (colek Mba Ilva :D ) dan bertemu dengan beberapa teman yang
sudah dikenal dan (sebagian) belum. Alhamdulillah.. nikmatnya silaturrahim.
Di depan, Bu Woro dengan gaya khas-nya menyampaikan materi tentang
ketahanan keluarga. Sayangnya nggak ada LCD jadi materi yang sudah disiapkan
tidak bisa ditayangkan.
Urgensi Ketahanan Keluarga
“Berbicara tentang ketahanan keluarga, maka kita tidak bisa hanya
membicarakan keluarga inti saja. Dalam islam, keluarga tidak hanya keluarga
inti tetapi juga jaringan di luarnya seperti kakek/nenek, paman/bibi dll,” kata
Bu Woro.
Sejarah hidup Rasulullah, setelah orangtuanya wafat beliau diasuh oleh
kakeknya lalu pamannya. Maka mereka jugalah yang sejatinya menjadi pendidik
untuk anak-anak kita. Padahal banyak ya teori parenting yang menyarankan untuk
benar-benar lepas dari ‘pengaruh’ kakek/nenek atau keluarga lainnya. kita ambil
sisi baiknya dari masing-masing saja, barangkali. Disesuaikan dengan kondisi
keluarga.
Ironisnya, saat ini banyak sekali panti jompo/wreda yang menampung
orang-orang tua. Karena apa? Karena anak-anak mereka merasa orangtua sama
sekali tidak boleh ikut campur dengan urusan mereka dan memilih mengirim mereka
alih-alih merawat dan membersamai mereka di masa tuanya. Hiks sedih.. semoga
kita tidak termasuk yang menelantarkan orangtua kita, ya.. Aamiin..
“Berbagai pergeseran pemikiran yang terjadi itu memang karena adanya ghazwul fikr (perang pemikiran) dari para musuh islam. Contohnya: persepsi
bahwa berkeluarga itu riweuh, punya
suami itu membuat perempuan tidak bisa berkespresi, punya anak itu hanya bikin
repot perempuan, dll,” lanjut Bu Woro.
Sementara tujuan menikah dalam islam adalah untuk meneruskan keturunan
(regenerasi). Punya anak adalah fitrah pasangan yang sudah menikah. Jika setiap
hari marah dengan anak dan merasa direpotkan dengan keberadaan anak maka perlu
dipertanyakan bagaimana fitrahnya?!
Ihik! Ini saya merasa ditabok sama Bu Woro.
Penyebab Keretakan Rumah Tangga
Di Indonesia, setiap tahunnya ada 2 juta pernikahan. Ironisnya, setiap
jam terjadi 40 perceraian. Jumlah yang cukup fantastis, ya Ayah-Bunda. Sedih mendengarnya.
Apalagi ternyata tingkat perceraian di Indonesia tertinggi se Asia pasifik.
Dari jumlah tersebut, penyebab utama perceraian adalah karena faktor
ekonomi. Tapi jika dirunut lagi, penyebabnya adalah pada pergeseran fitrah
suami/istri yang terjadi di masyarakat.
Fitrah laki-laki adalah bekerja atau mencari nafkah untuk keluarganya. Sedangkan
fitrah seorang perempuan adalah hamil dan melahirkan. Namun pada kenyataannya,
banyak keluarga yang menjalankan kehidupan pernikahan tak lagi sesuai dengan
fitrahnya.
Kembali kepada kasus perceraian yang penyebab utamanya adalah faktor
ekonomi, misalnya. Dalam banyak kasus (termasuk di daerah saya dimana banyak Tenaga
kerja Wanita (TKW) bekerja di luar negeri) perceraian terjadi karena sang istri
hendak membantu perekonomian keluarga dengan bekerja di luar negeri, sedangkan
suami menggantikan tugas istri mengurus anak-anak dan keperluan rumah tangga. Jika
salah satu atau bahkan keduanya tak kuat iman, perselingkuhan bisa saja terjadi
yang berakibat pada perceraian.
Na’udzubillah min dzalik.
Tak semua kehidupan TKW seperti itu, ini hanya contoh saja agar kita bisa
mengambil pelajaran dan kembali ke
fitrah jika ternyata telah menyimpang.
“Berhati-hati dengan pemikiran
yang membuat kita tidak tawakkal kepada Allah . Hamil, melahirkan dll adalah
hak prerogatif Allah . Ingat juga bahwa keluarnya perempuan dari rumah bukan
semata-mata untuk mencari uang. Rugi jika berpikiran seperti itu. Toh penghasilan
perempuan itu nilainya sedekah, kewajiban tetap berada di tangan suami,” tambah
Bu Woro.
Selain masalah ekonomi, masalah perselingkuhan juga kerap terjadi. Entah karena
suami merasa kurang diperhatikan, atau istri mencari hiburan dan sebagainya. Kita
perlu berhati-hati pula dengan media yang semakin memudahkan orang untuk
mengumbar hawa nafsu meski tanpa bertemu. Jika dulu ada phone-sex maka sekarang
pun ada texting, bahkan dengan
gambar, dll. Na’udzubillah...
Menyikapi Perbedaan Suami-Istri
Ini ada pertanyaan dari bu dokter Emi nih.. Ayah-Bunda, tentang bagaimana
menyikapi perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang diakui atau tidak
sering bikin baper dan timbul konflik diantara keduanya.
Laki-laki dan perempuan memang diciptakan berbeda. Sifatnya,
pemikirannya, fisiknya, dan semuanya telah diciptakan berbeda dan ada hikmahnya
masing-masing.
Perempuan lebih cepat matang. Laki-laki lebih lama matang, agar
pemikirannya global, untuk menyiapkan sel-sel otaknya menjadi seorang pemimpin.
Perempuan multitasking sedangkan Laki-laki simpel, perempuan detail.
Meskipun dengan berbagai perbedaan tersebut, keduanya harus sinergi
membangun visi-misi keluarga. Bagaimana caranya? Terlebih jika sudah ‘berbuntut
banyak’.
“Caranya dengan menyediakan waktu/moment
yang tepat untuk duduk bersama-sama dalam suasana yang benar-benar
terkondisikan. Bikin peta keluarga, rancang lagi visi-misinya, mau dibawa
kemana keluarganya, bagaimana mendidik anak-anak, dll. Suami yang membuat
bingkai besar visi-misi keluarga dan istri yang akan mendetailkannya. Idealnya,
ada misi rabbani yang kita bawa dalam keluarga.”
Dalam urusan muamalah, suami istri adalah mitra. Partner dalam mendidik
anak dan dalam management rumah
tangga. Jangan sampai peran-peran tersebut terbalik, ya.. tak ada salahnya
suami membantu pekerjaan rumah tangga atau istri berpenghasilan, tetapi
masing-masing tetap pada fitrahnya.
Sedangkan dalam urusan ibadah adalah nafsi-nafsi alias urusan individu. Jadi nggak
bener ya ungkapan orang Jawa ‘surga nunut
neraka katut’ bagi perempuan. Mungkin bisa saja terjadi jika si istri
mengikuti suaminya yang buruk.
Shalatnya perempuan, tilawahnya, dan ibadah lain adalah urusannya, begitu
juga suami. Namun alangkah lebih baiknya jika ibadah-ibadahnya dikondisikan
dalam keluarga agar bersama-sama dan saling mengingatkan.
Kata Bu Woro lagi, pahala tilawahnya istri sama suami itu beda lho.. para
bunda pasti merasakan nih.. disaat baru buka Al-Qur’an si anak manggillah, pup
lah, pipis lah, atau malah merebut dan menyobek al-Qur’annya.
Saya jadi teringat dengan taujih seorang ustadzah juga yang menyampaikan
bahwa ketika sudah menjadi istri dan ibu, maka kita harus pandai-pandai
menyusun prioritas kita termasuk dalam ibadah. Misalnya, ba’da maghrib inginnya
tilawah dan berdzikir sampai isya, tetapi suami yang baru pulang kerja ingin
makan malam ditemani. Maka tunaikanlah kewajiban untuk melayani suami terlebih
dahulu sebelum menjalankan ibadah sunnah yang lain seperti tilawah dan dzikir.
Bagaimana Anak berkonflik dengan Orantuanya?
Kalau ini pertanyaan dari siapa ya? Aduh lupa (maaf..) intinya sih
tentang penyikapan saat terjadi konflik antara anak dengan orangtua. Oia, bu
Woro-nya sudah pulang karena ada agenda lain, jadinya tanya jawabnya dialihkan
sama Bu Lillah.
Wajar sekali ya konflik ini terjadi. Saya pun pernah ko, berkonflik
dengan orangtua terutama saat saya menolak tawaran menikah dengan laki-laki
yang dikenalkan oleh kakak sepupu *ups. Skip.
Skip!
Jika sudah terlanjur berkonflik, maka salah satu harus mengalah dan
mengingat hadits Rasulullah yang mengatakan bahwa tugas seorang anak adalah
untuk taat dan menghormati orangtuanya meskipun mereka dzalim. Bahkan orangtua juga berkah mengambil harta anaknya tanpa
izin.
Tapi kalau yang terakhir itu bisa jadi masalah di meja hijau tuh kalau di
Indonesia, ya Ayah-Bunda.
Menyikapi konflik, kita bisa melihat kondisinya. Ada kalanya harus
menyimpan rapat-rapat demi keutuhan keluarga dan menjaganya agar tidak meledak,
ada kalanya juga harus segera menyelesaikannya. Jika antara orangtua dan anak
sama-sama kekeuh maka harus ada pihak lain yang mengingatkan masing-masing
untuk berdamai dengan situasi. Orangtua agar mengerem kemarahan dan anak agar bersabar
dan menerima keadaan.
Semoga, apapun pernah kita baik sebagai suami/istri maupun sebagai
anak/orangtua, kita bisa menjalankan peran-peran tersebut sesuai dengan porsi
dan fitrahnya.
Semoga ketahan keluarga kita selalu terjaga, juga keluarga orang-orang di
sekeliling kita. Aamiin..
Semoga bermanfaat, maafkan ya, Ayah-Bunda jika ada kesalahan di tulisan
ini. Terimakasih untuk Bunda Emi dan Bunda Suri, juga Bunda-bunda HSMN tercinta
lainnya.
Salam,
Mohon untuk tidak menyematkan link hidup dan spamming lainnya. Jika tetap ada akan saya hapus.
Salam,
Salam,
Rasya
Salam,
Oca
Salam,
Pink
Salam,
Gianta