Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Si Nakal Yatim



“Mbak, kadang tu saya merasa ragu dan agak gimana gitu kalau sedekah untuk anak yatim. Seringkali saya melihat anak yatim yang nakal dan susah diatur,” seorang ibu curhat kepada seseorang yang ditemuinya.
“ Bisa jadi itu ujiannya, Bu.. saya sarankan Ibu sedekah melalui lembaga zakat saja, karena umumnya mereka mempunyai program pembinaan untuk para penerima dana, tidak hanya sekedar memberikan santuan tiap bulan, Bu. Oia, kasus anak yatim nakal itu juga tidak semuanya, banyak ko anak yatim yang sangat shalih,” jawab muslimah itu dengan santun.
“Oh, begitu... iya mba, kadang jadi kurang ikhlas setelah melhat anaknya..”

Tak hanya sekali dua kali kita pernah mendapati atau bahkan merasakan hal yang sama
dengan si Ibu tentang anak yatim di sekitar kita. Tak bisa dipungkiri memang itulah yang kebanyakan terjadi di masyarakat, dan inilah yang menjadi PR bersama agar anak-anak yatim menjadi anak yang shalih dan kuat mentalnya sehingga tidak terus menerus mendapat cap ‘anak nakal’.

Karena bisa jadi, predikat ‘nakal’ itu juga karena sumbangsih lingkungan di sekitarnya, dimana seorang anak yatim yang diasuh oleh ibunya saja terlebih dalam kondisi kekurangan bisa menimbulkan rasa minder dalam diri si anak, masih ditambah dengan ejekan ataupun cibiran dari masyarakat di sekitarnya yang membuat makin down.

Tersebutlan seorang ibu setengah baya, bu Umi, panggil saja begitu. Ia mengasuh puluhan akan yatim dan dhuafa di rumahnya. Diantara puluhan anak itu ada satu anak yang istimewa dan sering membuatnya istighfar banyak-banyak. Syukri, panggilan anak itu.

Syukri datang ke rumahnya (lebih tepatnya dipaksa untuk datang) oleh kerabat jauhnya. Syukri kecil yang tak berdosa dan tak tahu apa-apa menjadi korban kekecewaan ibunya pada ayahnya. Ayah Syukri meninggalkan istri dan anak dalam kandungannya begitu saja tanpa pernah kembali dan ia terpaksa menjadi anak yatim_tanpa ayah_ dan hidup dalam kesengsaraan bersama seorang ibu yang selalu menyiksanya. Semenjak bayi, jika Syukri menangis kencang karena pipis atau lapar, pukulan lah yang pertama kali mendarat di pantat atau lengannya yang hanya menambah kencang tangis bayi itu. Ibunya masih menganggap kepergian sang suami adalah karena Syukri yang ada di perutnya, bayi tak diharapkan dan sempat ia coba gugurkan. Ya, mereka telah merajut mimpi untuk menuai hidup baru di ibu kota, jika saja tak ada bayi dalam perutnya. Tapi Tuhan berkata lain.

Semakin besar, siksaan demi siksaan semakin bertubi dialami Syukri tanpa seorang pun yang berani menolong. Rumahnya yang terisolir dari rumah para tetangga dan ibunya yang galak serta seram membuat tetangga enggan menemuinya. Saat tak berani pulang ke rumah maka Syukri mencari gubuk di sawah untuk berteduh dan tidur semalaman lalu keliling kebun mencari makanan. Hidupnya sangat tertutup dan tak seperti anak kebanyakan.

Puncaknya, ibu yang makin depresi itu memasukkan Syukri ke dalam karung lalu mengikatnya. Kebetulan seorang tetangga yang lewat pun memberanikan diri menolong lalu membawa Syukri kepada bu Umi yang berada di luar kecamatan.

Masa awal berada di panti asuhan, Syukri tak bisa meninggalkan kebiasaan hidup layaknya seorang tarzan di hutan. Seringkali didapati ia tidur di kandang ayam/kambing warga kampung atau betah berlama-lama mencari singkong sisa panen di sawah. Jika ditanya, ia hanya diam, menangis atau tak bereaksi apa-apa. Tak ada seorang pun yang bisa berkomunikasi denganya kecuali dengan kerabat jauhnya yang tak setiap pekan menjenguknya di panti.

Bu Umi dengan sabar mengajak Syukri ngobrol meskipun seringkali dianggap angin lalu dan ia seolah tak menganggap ada orang lain di depannya. Beliau memperhatikan syukri seperti anaknya sendiri, seperti penghuni panti lainnya bahkan terkadang lebih.

Lambat laun mulai terlihat peningkatan. Syukri mulai bisa berkomunikasi, mau menjawab jika ditanya dan mau berusaha melaksanakan aturan panti meskipun terkadang tingkahnya sungguh menjengkelkan banyak orang dan sering dibully teman-temannya.

Kelas lima SD ia belum mahir membaca dan berhitung. Berkat kegigihan orang-orang di sekitarnya ia bisa lulus dan melanjutkan SMP. Kini ia masih di bangku SMP dan prestasinya semakin meningkat.

Kisah nyata di sebuah kota kecil ini mengingatkan kita agar selalu berusaha dan gigih kepada anak yatim. Anak yatim yang nakal bisa jadi karena lingkungan yang memaksanya, sekaligus cap masyarakat padanya sehingga ia pun menganggap dirinya seperti yang dicapkan.

Dalam Alqur’an Allah berfirman bahwa menyantuni anak yatim merupakan ciri orang yang benar dan bertaqwa.
“Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: Apa saja yang mereka nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang yang sedang dalam perjalanan. Dan apa saja kebajikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui,” (Q.S Al-Baqarah,2:215)

           Dalam hadits Rasulullah berabda:
Saya dan orang yang memelihara anak yatim dengan baik, di surga bagaikan dekatnya jari telunjuk pada jari tengah (HR. Bukhari)

          Mau menjadi sedekat jari tengah dan telunjuk dengan Rasulullah?! Mari berlomba berbuat baik pada mereka dan membina mereka agar menjadi anak dan generasi islam yang unggul, bukan anak-anak dan pemuda nakal.


Arina, Mei 2015, terinspirasi dari kisah seorang anak yatim


Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Blog Yatim PKPU Semarang 2015

Posting Komentar untuk "Si Nakal Yatim"