Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

EUFORIA MUDIK 1435: Dieng, Sikunir dan moment cinta kita (ciee)


pic by: belantaraindonesia.org

Siapa tak pernah mudik saat idulfitri tentunya ingin merasakan sensasi mudik mulai dari antri pesan tiket bagi yang mudik dengan kendaraan umum, sampai merasakan macet berjam-jam di jalan. Dulu semasa mahasiswa, mudik dan arus balik lebaran mau tak mau harus kulalui. Mulai dari perjalanan pulang ke Wonosobo dengan menumpang bis ekonomi dalam kondisi berdiri, berdesakan, bau keringat dan asap rokok, banyak pengamen dan penjual asongan, teriakan kernet yang minta penumpang bergeser meskipun hampir tak ada celah; dan seabrek kegaduhan lain di bis yang sudah berkarat dan suara mesinnya mengisyaratkan sudah saatnya ia dipensiunkan.

Tapi begitulah yang harus kualami, demi menghemat ongkos daripada naik bis patas yang armadanya pun hanya beberapa. Perjalanan mudik Semarang-Wonosobo yang normalnya bisa ditempuh dalam waktu 3-4 jam pun bisa sampai 5-6 jam, dengan berdiri sampai setengah perjaanan. Kembali ke Semarang pun tak jauh berbeda kondisinya, bahkan terkadang bisa lebih parah karena banyak calon pekerja dari desa yang akan berangkat ke Semarang.

Alhamdulillah, dua tahun terakhir mudik ke wonosobo bersama keluarga tak perlu lagi berdesakan di atas bis. Rasa syukur yang teramat dalam atas karunia ini. Tahun ini kami mudik bersama suami, anak, dan keluarga sahabat suami. perjalanan cukup lancar meski harus berjalan merayap perlahan. Kami sengaja memilih tanggal pertengahan liburan saat arus lalu lintas tak terlalu padat. Berangkat dari Semarang sekitar pukul 7.30, dengan perjalanan yang tidak terlalu cepat dan mampir warung makan serta mampir mertua teman kami di Temanggung. Alhasil kami sampai di Wonosobo hampir ashar. Alhamdulillah Hasna, bayi kami yang berusia 5 bulan selalu menikmati setiap perjalanan.

Seperti biasanya, saat mudik adalah saat yang selalu ditunggu oleh keluarga untuk berkumpul. Sebenarnya kami telah melewatkan satu moment pertemuan keluarga di Wonosobo karena acaranya berbarengan dengan pertemuan keluarga Semarang.

Namun, sambutannya tak kalah meriah (ciee), tentu saja karena mereka menanti cucu dan keponakannya yang lucu bin gemesin. Dan, agenda seharian pun harus dirumah karena semua ingin merubung dan menggendong si bayi imut itu. Padahal kami sudah berniat untuk segera silaturrahim ke tetangga dan saudara di sana.


Esok dan esoknya lagi agenda full silaturrahim ke keluarga dekat dan keluarga jauh. Subhanallah, senang bertemu banyak keluarga.

Senin, 4 Agustus 2014

Kami mengagendakan berwisata bersama keluarga ke Dieng. Sebenarnya sudah cukup bosan jalan-jalan ke Dieng. Sudah terlalu mainstream bagi warga asli Wonosobo yang kuliah di luar kota dan setiap pulang libur kuliah hampir pasti didaulat oleh teman-teman untuk menemani ke Dieng ;)

Tapi, demi rayuan suami yang katanya ‘ke Diengnya sudah biasa, tapi momentnya langka’ akhirnya luluh juga dan cukup bersemangat untuk jalan-jalan ke Dieng (lagi).

Sampai di Dieng kami belum menentukan tujuan ke obyek wisata yang mana, tapi akhirnya semua sepakat untuk mencoba menjelajah ke Sikunir.


                     telaga warna_pengilon

Yup! Berbekal seorang adik kami yang sudah pernah kesana kami mencoba mencari jalan tanpa bertanya orang lain lagi.

Taunya eh, kesasar! Ke tempat seperti lapangan dengan jalan sempit berbatu, berbau CM alias pupuk dari kotoran ayam. Haik! Rasanya wow! Naik mobil rasanya seperti naik kora-kora. Untung disana ada petani yang sedang mengurus lahan kentangnya. Jalan satu-satunya tentu saja berbalik arah melewati jalan yang sama. Ternyata WOW! Saat berbalik arah kami menemukan view yang sangat cantik dari jalan yang telaknya cukup tinggi: view telaga warna dan telaga pengilon terlihat bersebelahan dengan iringan pepohonan di sampingnya. How beautiful! Pemandangan ini cukup mengobati kekesalan karena tersesat, terlebih suami yang agak jengkel karena jalan yang jelek itu membuat salah satu part mobil berbunyi ‘klotak-klotak’ saat berjalan.

Sekitar 20 menit perjalanan dari Dieng, sampailah kami di gerbang Desa Sembungan; desa tertinggi di Pulau Jawa 2.350 mdpl. Wew! Masyaa Allah akhirnya kami bisa sampai di sini (padahal tetangga kami pun ada yang berasal dari desa ini).

welcome to Sembungan Village


Masuk Desa sembungan, kami diminta untuk membayar Rp.5000 per orang. Alhmdulillah dapat diskon juga. Perjalanan masih berlanjut, sekitar 10 menit melewati jalan desa dan jalan berbatu di tengah ladang kami sampai di area parker tepat di sebelah telaga cebong. Oia, jalan menuju kesana hanya cukup dilewati satu mobil, jadi kalau berpapasan salah satu harus mengalah.

Yup! Pendakian pun dimulai. Persiapan seadanya kami bawa. Ternyata, banyak sekali yang naik bersamaan dengan kami. Mulai anak muda berpasangan, rombongan pecinta alam, sampai kakek-nenek beserta cucu-cucunya. Rupanya siang hari pun tak kalah ramai (awalnya kami pikir siang hari tidak seramai malam hari).



    Hasna, Ayah dan Bunda di puncak Sikunir

Sepanjang perjalanan, saat berpapasan atau ada yang mendahului, selalu menyapa kami dan anak kami: ‘ih, dedek bayinya ikut naik’; dan dengan ceria selalu kami jawab ‘iya nih, dedeknya cinta alam sih’ hahaha. Tentu saja berusaha menjawab dengan ceria, meskipun nafas ngos-ngosan. Hampi satu jam akhirnya kami sampai di puncak. Cukup seru, dan Subhanallah, dari ketinggian di puncak sikunir memandang ke bawah barisan bukit-bukit yang sangat menawan.

                               d sisters

 

Rasanya baru bentar banget di puncak sikunir, ternyata sudah lewat waktu dzuhur! Wowowowow…. Si bapak berdua nyari air buat wudlu, ternyata kamar mandinya dikunci. Yasudahlah, kami pun bertayamum… memanfaatkan debu-debu di tiang yang berdiri di puncak itu. Eladalah… ternyata tiangnya selain berdebu ternyata bercoret arang juga dimana-mana jadinya moment tayamum dan shalat itu awalnya tidak khusyu’ karena saling cekikik.

Shalat di alam terbuka ditemenin angin yang makin kenceng, kabut muali turun… sungguh deh! Moment langka ini namanya… moment jatuh cinta sama alam dan penciptanya.



Habis shalat langsung buru-buru turun, kabut mulai turun juga sementara kita bawa bayi n krucil2. Bismlilllah… jalan turun tentu lebih berat dibandingkan naiknya. Dan sampai di lapangan parker, seplastik tempe kemul hangat menanti (lebih tepatnya melambai-lambai dari meja penjualnya). Serunya, menikmati tempekemul di depan telaga cebong.



               narsis di perjalanan turun sikunir

Saatnya pulang, habis puas foto n narsis paling enak lanjut perjalanan nyari tempat asyik lagi. Tujuannya ke candi biar bisa piknik lagi. Ternyata pas mau masuk sana disuruh bayar terusan @10.000. kita udah bilang mau ke candi aja ga mau terusan tapinya nggak boleh. Yaudah, mending ga jadi aja. Makan bakso panas lebih enak daripada piknik disana. Hahaha. Memang ini busui sudah kelaperan. Makan bakso yang rasanya biasa pun jadi nikmat. Yummy..

Habis makan bakso, shalat ashar di masjid yang airnya brbrbrrrr… kayak air es trus lanjut pulang. Bye bye sikunir, dieng, we’ll miss u… :*






4 komentar untuk "EUFORIA MUDIK 1435: Dieng, Sikunir dan moment cinta kita (ciee)"

  1. haha :D jadi inget pas nyasar
    kapan2 kesana lagi yuks, malem-malem sebelum matahari terbit, biar bisa liat golden sunrise.nya

    *nasib fotografer, ga ada fotonya pas lagi bareng2 :(

    BalasHapus
  2. ayoook!!
    siap2 gendong hasna Yak! *ketawajahad

    BalasHapus
  3. ke prau yuhh, bulbul Nil yang gendong tapinya, hahaha

    BalasHapus